Jikalau sakit perut, minum obat sakit perut. Kalau sakit gigi, minum obat sakit gigi. Kalau sakit kepala, minum obat sakit kepala. Jikalau rindu, apa obatnya? Ya, menemui yang dirindukan tersebut. Agaknya itulah yang dilakukan alumni MAN 2 Padang di Mesir. Penyakit rindu yang melekat di dada mereka, diobati dengan menemui orang yang dirindukan tersebut. Siapakah orangnya? Kita ikuti perjalanan mereka.
Pukul 09.00 WT (Waktu Tafahna) mereka berkumpul di rumah Edo Saputra. Banyak wajah baru terlihat di sana. Ya, baru mendarat di Mesir, setelah berbulan-bulan menunggu ketidakpastian. Meski demikian, semangat mereka masih menyala. Semangat untuk mendapatkan apa yang dicita-citakan. Wajah-wajah lama juga terlihat di sana, hanya saja ada beberapa orang yang tidak hadir karena berhalangan. Mereka semua tampak sangat antusias dengan perjalanan ini, sebagian mereka penasaran dengan sosok orang yang akan mereka temui, karena memang belum pernah bertemu. Sebagian kangen, karena telah pernah bertemu dulu, (dimana, yah. Kita ikuti terus perjalanannya).
Semua sudah tampak bersiap untuk melakukan perjalanan yang sangat menyenangkan ini. Gulai ayam ala Muhammad Djamil Bakri yang barusan mereka makan, menambah semangat langkah, walau mungkin sebagian merasa mengantuk karena kekenyangan. Namun demikian, mereka tetap semangat untuk pergi. Lebih kurang pukul 10.15 WT, mereka segera bertolak dari rumah Edo Saputra. Perjalanan ini dipimpin oleh Ramadhanil, yaitu orang yang dituakan diantara alumni MAN 2 Padang di Mesir. Beliau sudah banyak mengenal sisi-sisi Mesir. Panas dingin udara Mesir telah lama beliau rasakan. Pedas asam masakan Mesir telah pernah beliau kecap. Ada satu lagi yang termasuk dituakan dan disegani, yaitu Lingga Fakhri, tapi beliau berhalangan hadir. Sebagai penunjuk jalan diamanahkan kepada Muahammad Djamil Bakri, orang yang sudah mengetahui seluk beluk rute perjalanan, juga telah beberapa kali ke sana. Perjalanan ini merupakan yang ketiga secara kolektif. Kalau perindividu, mungkin sebagian alumni sering ke sana.
Untuk sampai ke sana harus menaiki mobil sebanyak empat kali sambung. Jauh, ya? Mobil pertama menuju Midgham, sebuah tempat yang cukup ramai oleh para pelajar yang talaqqi (belajar langsung) kepada syaikh-syaikh. Dari Midgham naik mobil ke-dua yang langsung ke mau’af (terminal) Manshurah, sebuah daerah bagian Mesir. Setelah sampai di Mansurah masih belum sampai ke tempat yang dituju, masih ada dua mobil lagi yang akan dinaiki. Dari mahaththah Manshurah perjalanan dilanjutkan kembali dengan menaiki mobil tramco (kayak travel gitu) putih. Semakin ke dalam, semakin terlihat hawa desanya. Rumah-rumah yang berdiri tak ada yang tampak megah, umumnya sederhana. Sungai Nil mengalir tenang, beriak kecil ditiup angin. Orang mesir mandi bersama kuda dan kerbaunya. Abak-anak kecil bermain, berlari-lari. Sampah-sampah menyangkut di tonggak tonggak jembataan. Menambah khas kedesaannya. Mobil berhenti di pinggir sungai Nil. Pohon-pohon rindang menjulang. Panas matahari yang menyengat di musim panas ini, terlindungi oleh pohon itu. Masih ada satu mobil lagi yang akan dinaiki. Perjalanan menuju rumah orang yang dituju cukup jauh masuk ke dalam dengan berkali-kali menaiki mobil. Tak lama menunggu, terlihat sebuah mobil datang. Rombongan segera masuk ke dalam. Perjalanan dilanjutkan kembali. “Perjalan yang menyenangkan,” ucap salah seorang diantara mereka.
Penasaran mereka yang belum bertemu semakin menjadi-jadi tatkala akan sampai menuju orang yang dituju. Kira-kira orang ini siapa, ya, hingga membuat mereka penasaran? Kita ikuti kembali perjalanan mereka. Setelah empat kali gonta-ganti mobil, akhirnya mereka sampai juga di sebuah desa yang sangat sederhana dengan bangunan yang sederhana, bangunan-bangunan angkuh tak terlihat di sana, semuanya bersahaja dengan bentuk khas Mesir, bangunan kubus bertingkat-tingkat. Juga tak terlihat tingkat-tingkat yang menjulang. Mereka turun dari mobil, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki, “jauh juga.” Keluh Irwan yang baru pertama kali ke sini, ”Saya baru satu kali ke sini.” sambungnya.
Rombongan sampai di desa ini pukul 13.10 waktu setempat. Nama desanya Brombol Qodimah, sebuah desa bagian Manshurah. Khatib telah berkhutbah ketika rombongan sampai. Karena waktu jum’at telah masuk, mereka melaksanakan salat Jum’at terlebih dahulu. “Nampaknya ‘gak ada orang asing di sini.” Ujar Aulia, usai salat Jumat. Anak-anak Mesir tampak melihat sesuatu yang baru. Mata-mata mereka menyapu rombongan. Tak ubahnya seperti di kampung yang kedatangan turis alias bule. Mereka berkerumun, mengajak salaman. “Waktu ana pertama kali ke sini, diiringi lima bemo.” Ungkap Ade Agustian, ketua alumni MAN 2 Padang di Mesir saat ini. Di luar masjid, di pelataran, berdiri orang Mesir, badannya gemuk, tidak terlalu tinggi. Semua rombongan menyalaminya, seolah-olah mereka kenal, akrab, apakah itu orang yang dituju. Ternyata benar beliaulah tujuan perjalanan ini, beliau adalah ustadz Ali Ali Barrum, orang yang pernah mengajar di MAN 2 Padang dulu, selama empat tahun. Ada generasi yang berjumpa dengan beliau. Generasi itulah yang manaruh rindu padanya. Generasi terakhir yang bertemu mereka adalah generasi Irwan Doni, Muhammad Muhsin dan Azrai Ghazali, sedangkan generasi di bawah mereka, Syukri Rahmat, Aulia, Arif dan Rahmatika, tidak pernah bertemu. Ketidak bertemuan itulah yang membuat mereka penasaran akan sosok Ustadz Ali, begitu beliau biasa dipanggil alumni. Dari pelataran masjid, beliau mengajak rombongan ke rumahnya. Rombongan masih tak lepas dari tatapan mata orang mesir yang keheranan dengan kedatangan mereka. Beliau mempersilahkan masuk. Anak-anak kecil berlari-lari dalam rumah. Ada juga yang malu-malu. Rumah beliau sangat sederhana. Tak ada perabotan yang mewah terlihat. Kursinya pun biasa-biasa saja. Cat kuning rumah yang sudah kabur. Tirai dari kain menjadi pintu, membatasi ruang tengah dan tamu. Sebuah komputer tegak di sana. Dan sebuah telepon berbunyi setiap saat. Ustadz Ali memiliki 4 orang anak, 3 orang laki-laki dan 1 perempuan. Anak paling tua namanya Adil, kedua Umar, ketiga Sofia dan yang bontot Ahmad. Tampak kebahagian terpancar dari raut beliau karena bisa bertemu kembali dengan murid-muridnya di negerinya sendiri. Beliau juga memperlihatkan foto bereng ketika di MAN 2 Padang dulu, tampak ia sangat bangga sekali dengan foto-foto itu, beliau juga menyebutkan satu persatu orang yang pernah dikenalinya dulu, yaitu orang-orang yang berkesan ketika di MAN. Alumni mengangguk-angguk sekaligus mengiyakan kebenaran ucapan beliau. Bahasa Indonesia yang pernah beliau tahu ketika di Indonesia dulu masih ingat. Terkadang diiringi dengan derai tawa ketika beliau kurang pas menyebutkan kata.
Setelah lama mengobrol, beliau mengajak makan. Di balik tirai kain, makanan sudah tersedia. Empat ekor ayam bakar guling, sayur sop, gulai qisssa (seperti mentimun), ditemani makrunah balado. Setelah basa-basi sedikit akhirnya rombongan makan. Orang Mesir paling tidak senang kalau ditawari tidak di makan. Porsi yang disediakan memang porsi orang Mesir, jumbo. Semua makan dengan lahap. Keringat bercucuran. “Gadang, lai.” Kelakar salah seorang diantara mereka. Dua tangan bekerja, saling bekerja sama memakan ayam. Kenyang. Makanan yang luar biasa itu buat perut rasa meletus. Sebagai pencuci mulut, kemudian disuguhi anggur dan mis-mis (buah Mesir). “Mis-mis ‘gak ada di Indonesia,” kata Ustadz Ali diiringi dengan derai tawa semua. Sebagai orang yang sedang menuntut ilmu di negeri orang, salah seorang alumni meminta Ustadz Ali untuk memberika taujihad agar senantiasa bersemangat dalam belajar. Dalam nasehatnya beliau menitik beratkan pada kesungguhan dalam belajar, bertaqwa kepada Allah, menghafal al-Quran, tafsirnya, haditsnya, fiqh dan mengamalkannya, sebgai contoh beliau mengutip bagaimana sayyidina Umar tidak beranjak dari surah al-Baqarah ke surah lainnya sebelum memahaminya dan mengamalkannya. Selanjutnya beliau menasehati untuk tidak memperturutkan hawa nafsu, senantiasa berdzikir dan mudzakaroh yang rajin.
Beliau sangat senang sekali dengan pertemuan ini. Layaknya Bapak yang merindukan anaknya. Ustadz Ali sekarang bertugas di Arab Saudi, mengajar di sana. “ Tentunya fasilitas di Saudi lebih bagus dari MAN 2 Padang.” Tanya iseng alumni. Semua yang mendengar meledak tawanya. “sama aja.” Kata beliau. “gak bisa dibanding-bandingkan.” Dua minggu lagi beliau akan segera berangkat ke Saudi. Beliau pulang satu kali setahun, ketika musim panas, karena waktu ini libur panjang. Lama bercerita, setelah semua rasa tumpah, akhirnya alumni MAN 2 Padang memohon diri. Rindu terobati sudah, penasaran tak lagi ada. Semuanya telah mendapatkan yang dicari. Dalam langkah menuju pulang, mereka menyampingkannya dengan berfoto-foto bareng. “Berkesan sekali pertemua ini.” Ungkap Irwan yang merasa kehilangan ketika akan pergi meninggalkan ustadz Ali. Tepat adzan Ashar bergema 17.30 waktu setempat, perpisahan itu terjadi. Dengan senyuman ustadz Ali melepaskan kepergian rombongan. Usai sudah perjalanan kali ini dengan ketenangan dalam dada. Semangat yang menyala. Tekad yang membaja dan optimisme yang menggila. Mereka semua berharap akan ada kesempatan lagi untuk kembali bisa bertemu dengan guru yang pernah mengajar di sekolah mereka. Semoga saja petemuan ini tak berakhir sampai di sini. kembali terulang. (Alumni MAN 2 Padang di Mesir/ Udo Iwan).
03.19 WZ, 28 Juni 2009. Oleh udo Iwan
Selasa, 07 Juli 2009
Kangen dan Penasaran
Label:
kegiatan
Langganan:
Postingan (Atom)