Aku mulai sadar bahwa tidak mudah
membuat film agama. Itulah kenapa
ibuku dulu berpesan kalau kamu sudah
bisa membuat film, buatlah film
tentang agamamu: Islam. Awalnya aku
cuma tersenyum mendengar kata-kata
ibuku. Senyum yang menyangsikan. Sebab
pada waktu itu buatku film agama tidak
lebih dari sekedar petuah-petuah yang
membosankan. Lelaki berpeci dengan
baju koko, bertasbih, kadang
berewokan, mulutnya nerocos soal ayat
dengan cara menghadap kamera. Membuat
dirinya tampak suci dengan mengumbar
ayat-ayat Quran. Ah, tidak terbayang
olehku sebuah film agama.
Aku terjun membuat film Cinta:
Brownies, Catatan Akhir Sekolah,
Jomblo, dsb ... dsb ... Tapi aku tetap
yakin bahwa suatu saat akan datang
masa aku membuat film tentang agama.
Alhamdulillah, benar. MD Entertainment
menawari membuat Film Ayat-Ayat Cinta
(AAC).
'Kenapa anda membuat film ini?'
Tanyaku
'Sederhana. Pertama, Ini film dari
Novel best seller. Kedua, penduduk
indonesia 80 persen muslim. Kenapa
saya tidak membuat film tentang
mereka? Kalau saya minta 1 persen dari
80 persen masak tidak bisa.'
1% dari 80% penduduk muslim Indonesia
berarti sekitar 2 juta penonton.
dikalikan 10 ribu per tiket. Berarti
pendapatan kotor 20 milyar. Kalau
bujet produksinya 10 milyar,
keuntungan yang didapat 10 milyar.
Lalu aku mulai memasuki tahap
persiapan dan riset.
Wallohu ... Aku melihat islam dari
dekat sekali. Sangat dekat. Di Kairo,
aku menatap Menara Azhar, aku
menyentuh dinding dan lantai Azhar
university, aku mencium bau apek baju-
baju dan karpet mahasiswa Alzhar
tetapi memiliki roman
muka bersih dan santun. Aku melihat
keikhlasan mereka saat bersujud diatas
sajadah buluk. Bibir mereka pecah-
pecah oleh panas sekaligus dingin hawa
Kairo, tetapi dibalik bibir pecah itu
terlantun dzikir panjang menyebut:
Alloh ... Alloh ...
Lalu aku melihat seorang syaih duduk
bersila dihadapan murid-
muridnya. 'Tallaqi' mereka
menyebutnya. Aku mendengar seorang
melantunkan ayat-ayat Al quran di
sudut masjid. Dan juga di pinggiran
jalan. Seolah quran bagaikan bacaan
novel. Allohu Akbar ... Allohu Akbar.
Inikah caramu membuatku dekat dengan
agamaku, Ibu?
Darahku menggelora membuat mataku
terbelalak. Islam sangat indah. Islam
sangat eksotis. Tapi orang-orang islam
seperti tidak mengerti semua itu.
Orang-orang Islam di Jakarta lebih
memilih jalan-jalan ke eropa daripada
ke Kairo.
'Saya akan membuat film ini eksotis,
pak' begitu kata saya ke producer.
Dan mulailah
persiapan dimulai. Semangatku
menggelora. Aku baca buku-buku tentang
Fiqih dan sunnah. Aku libatkan
mahasiswa Al Azhar untuk
mendampingiku. Aku sangat hati-hati
sekali melakukan ini agar apa yang
tertulis dalam novel dengan indah pula
tersampaikan lewat gambar. Sebuah film
yang lembut, yang indah, yang suci
tergambar di depan mataku dan aku
yakin sekali bisa mewujudkannya.
Namun semua impianku itu tidak begitu
saja mudah diwujudkan.
Pertama kali berita tentang pembuatan
film AAC tersebar, halangan pertama
datang justru dari pembaca. Diantara
banyak yang berharap, mereka juga
menyangsikan, sinis, dan mencemooh.
Bahkan ada yang bilang : 'Wah, sayang
sekali novel sebagus ini akan
difilmkan. Jadi ill Feel, deh'. ada
juga yang bilang 'Tidak pernah aku
lihat Novel yang di filmkan hasilnya
bagus, sekalipun Harry Potter. Apalagi
ini.'
Kami tahu bahwa film ini harus
dibuat dengan hati-hati sekali. Kami
juga tidak begitu saja memilih pemain
hanya semata-mata ganteng
dan 'menjual'. Karena itu kami
menggandeng ketua PP Muhammadiyah Din
Syamsudin sebagai penasehat kami.
Sebelum aku melakukan casting, aku
berdiskusi dulu dengan kang Abik. Kang
abik sangat concern dengan sosok
Fahri. Dia harus turut serta memilih
tokoh Fahri. Semula kami membuka
casting di pesantren-pesantren .
Tetapi hasilnya Nol. Bukan berarti
para santri tidak ada yang ganteng dan
pintar seperti fahri. Tetapi banyak
diantara mereka sudah
menganggap 'Film' adalah produk
sekuler. Oleh sebab itu banyak
diantara mereka tidak mau ikut
casting. Saya pernah membaca satu
hadist, jangankan membuat film,
menggambar manusia saja hukumnya
Haram. Nanti di Neraka hasil gambar
yang kita buat harus kita hidupkan.
Kalau tidak bisa, Malaikat Jibril akan
mencambuk kita dengan cambuk api.
Kami melakukan casting lebih dari 5
bulan. Semua yang ikut casting adalah
pemain-pemain
terkenal. Tapi diantara mereka banyak
terjebak pada tuntutan atas 'Kesucian
Fahri'. Lalu ditengah keputusasaan
kami datang seorang lelaki. Ganteng,
tetapi tidak sombong (tidak merasa
dirinya ganteng). Sering kita lihat di
Mal-Mal, banyak lelaki pesolek, sadar
sekali bahwa dirinya ganteng. Tetapi
lelaki ini tidak . Dia sangat santun.
Bahasanya pun santun. Ketika berucap
Alloh, dia agak-agak canggung. Bahkan
tidak fasih seperti ustadz. Pada saat
dia sholat aku melihat gerakannya jauh
dari sempurna. Tetapi lelaki itu punya
mata yang didalamnya mengandung
semangat belajar. Dia adalah Fedi
Nuril. Aku berdiskusi dengan kang
Abik. Terjadi tarik ulur dan
perdebatan panjang. Akhirnya kita
sepakat memutuskan dia yang main
sebagai Fahri. Alasanku adalah, Fahri
bukan lelaki sempurna. Tapi yang
membuat Fahri tampak sempurna karena
dia sadar bahwa dirinya tidak
sempurna. Keputusan Fedi Nuril sebagai
Fahripun mengundang banyak kesangsian
di kalangan pembaca fanatik
AAC, terutama di
Malaysia . Karena film Fedi Nuril
sebelumnya menampilkan Fedi ciuman
dengan perempuan bukan muhrim. Fedi
pun mengakui itu. Yang membuat aku
terharu, Fedi menganggap film AAC
sebagai media dia buat dekat dengan
Islam. Belajar kembali tentang Islam.
Karena film ini, Fedi jadi rajin
membuka-buka lagi buku tentang Islam.
Bahkan Fedi menyadari segala tingkah
lakunya yang tidak Islami selama ini
setelah memerankan Fahri. Sungguh,
baru kali ini aku rasakan dampak film
yang begitu besar mempengaruhi
keimanan seseorang. Terima kasih kang
abik. terima kasih Ibu.
Pada saat kami mencari sosok Aisha dan
Maria, semula kami bersepakat untuk
mencari pemain Mesir. Tetapi setelah
kami melakukan riset disana, sangat
mengagetkan. Perempuan-perempuan Mesir
lebih tua dari umurnya. Aku
mengcasting seorang perempuan
mesir bernama Roughda untuk berperan
sebagai Aisha. Tidak hanya cantik,
tetapi mainnya luar biasa. Tetapi
setelah di sejajarkan dengan Fahri,
terlihat Roughda lebih pas sebagai
kakaknya daripada isteri Fahri.
Padahal umurnya lebih muda 3 tahun
dari Fedi Nuril. Lalu kami mencari
pemain dengan umur 8 tahun lebih muda
dari Fedi. Pada saat kami sejajarkan,
sangat pas. Tetapi disaat dia
berdialog tentang perkawinan, tidak
bisa dipungkiri 'kedewasaannya' tidak
tampak. Alias belum matang. Kami
bingung dan akhirnya kami sepakat
untuk mencari pemain indonesia saja.
Tidak gampang mencari pemain indonesia
yang cantik sekaligus
solihah. Pak Din Syamsudin berpesan
kalau bisa pemain Aisha kesehariannya
ber jilbab. Lihatlah siapa artis kita
yang bertampang Bule yang seperti itu.
Hanya Zaskia Meca saja yang berjilbab
dan cantik. Selebihnya tidak ada.
Sementara itu Zascia tidak bertampang
bule. Dia sangat sunda. Pernah kita
meng casting Nadine Candrawinata. Dia
sangat cantik dan bermain bagus.
Dangat cocok pula berdampingan dengan
Fedi Nuril. Tapi Nadine bukan Muslim.
Padahal Nadine sudah mau bermain
sebagai perempuan Muslim. Aku pernah
berdiskusi panjang dengan kang abik
soal itu. Aku bilang padanya ...
'Suatu hal yang unik, ketika tokoh
Maria yang kristen dimainkan oleh
seorang muslim, sementara tokoh Aisha
yang Islam dimainkan seorang kristen.
Ini akan memperlihatkan sikap
toleransi dan demokratisasi dalam
Islam seperti di India .'
Tetapi kang abik dan pak Din Syamsudin
menyarankan untuk jangan bertaruh
terlalu besar di film ini. Masyarakat
Islam di Indonesia berbeda dengan
India . Di India, masyarakat moslem
dan Non Moslem sudah terdidik tingkat
kedewasaan dalam toleransi, sementara
di Indonesia belum. Akhirnya
dipilihlah Ryanti sebagai Aisha dan
Carrisa Putri sebagai Maria.
Ketiga pemain itu dikursuskan bahasa
arab secara
privat untuk mendalami kehidupan
Muslim di kairo. Mereka sangat
antusias. Namun antusiasme itu harus
berhadapan dengan kenyataan bahwa
mereka juga punya kesibukan lainnya.
Ryanti sebagai VJ di MTV dan Carrisa
bermain sinetron. Ryanti yang bagiku
sangat keteter ketika berperan sebagai
Aisha. Asiha adalah sosok yang
memiliki beban berat. Sementara Ryanti
sebagai VJ MTV harus selalu tampak
riang dan ringan. Sering sekali
benturan itu membuat proses pendalaman
karakter tidak sempurna. Aku frustasi
sendiri. Tetapi aku ingat, bahwa di
Film ini kesabaranku benar-benar di
uji. Impianku mewujudkan keindahan dan
kedalaman Islam terbentur oleh
kenyataan sebaliknya: Ringan, Riang,
Hedonistik dan Pop. Apalagi ketika
producer tiba-tiba berubah pikiran
melihat kenyataan penonton Film
Indonesia banyak di dominasi
anak-anak muda yang pop, ringan dan
tidak menyukai hal-hal bersifat
perenungan. Dia lantas ingin mengubah
karakterr film AAC menjadi sangat pop
seperti Kuch Kuch Hotahai ... Tuhanku!
Tuhanku! selamatkan film ini ...
Tidak jarang aku berperang mulut
dengan producerku ketika meminta
adegan Talaqi dibuang. Karena boring
dan membuat penonton mengantuk. Lalu
beberapa adegan yang bersifat
perenungan, seperti pada saat Fahri
dipenjara dan menemukan hakikat
kesabaran dan keikhlasan dari seorang
penghuni penjara yang absurd (dalam
novel digambarkan sebagai seorang
professor agama bernama Abdul Rauf),
Tetapi di Film saya adaptasi sebagai
sosok imajinatif, bergaya liar,
bermuka buruk tetapi memiliki hati
bersih dan suara yang sangat tajam
melafatskan kebenaran. Semua adegan
itu diminta untuk dibuang atau
dikurangi dan lebih mementingkan
adegan romans seperti AADC ataupun
Kuch Kuch Hotahai ...
Sabar ... Sabar ... Ikhlas ...
ikhlas!!!
begitulah yang aku dapatkan di film
ini. Film ini tidak hanya mampu
merobah pandanganku tentang Film. Film
ini mampu dan sudah merobah pandangan
hidupku: tentang agama, kesetiaan,
kerjakeras, komitmen, dan ... cinta.
Berkali-kali aku berucap syukur yang
besar kepada Tuhanku yang sudah
memberikan aku jalan menuju
kedewasaan. Berkali-kali aku berucap
terima kasih kepada Kang Abik yang
sudah secara tak langsung
mempercayaiku menyutradarai film ini,
dimana telah membuatku kembali merasa
dekat dengan Islam yang indah,
bersahaja dan penuh dengan toleransi.
Dan terakhir, berkali-kali aku berucap
syukur kepada Ibuku yang telah
berpesan untuk membuat film tentang
agama. Sekarang aku mengerti, kenapa
Kau berpesan begitu Ibu. Tidak lain
hanyalah untuk membuatku selalu dekat
dengan Islam ...
La haula wa kuwwata illa billahi ...
Oleh : Hanung Bramantiyo
Senin, 28 Januari 2008
Ayat-ayat Cinta the Movie
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
assalamu'alaikum Pak
kesini disimpan ya?
assalamu'alaikum Pak
kesini disimpan ya?
Posting Komentar