Jumat, 17 Oktober 2008

Bangkit

Bangkit itu darah Palestina yang memuncrat di tembok-tembok bisu rumah,
mempertahankan jiwa dan tanah air mereka.
Bangkit itu derai air mata mereka –rakyat Palestina- yang mengguyur tanah kering yang diinjak-injak Zionis Yahudi laknatullah.
Bangkit itu nyawa Mahasiswa Trisakti yang menggelinjang, ditembak aparat keparat orde baru.

Bangkit itu gatal tangan kotor Israel yang selalu digaruk.
Tangan yang tak pernah menyetuh air.
Tangan yang selalu berlumur merah darah Palestina.
Tangan yang tak tahan melihat Palestina bebas mengepakkan-ngpakkan sayapnya, terbang bebas di angkasa.

Bangkit itu muka tembok Amerika yang tak pernah jera atau malu pada dosa,
menghancurkan mereka yang tak mau tunduk atau patuh pada perintah.
Dalih-dalih “Terorisme,” dalih-dalih “keamanan dunia.”
Setelah semua hancur berserakan, dengan sekenanya mengatakan salah sasaran,
tak sengaja, atau tak lainnya-lah.
Setelah Afganistan lebur, setelah puing-puing menjelma jalanan curam, runcing-runcing reruntuhan.
Muka tembok itu masih saja menacari-cari celah kesalahan dengan isu-isu tanpa landasan.

Bangkit itu angka, bangkit itu harga,
bangkit itu nyawa, harta dan jiwa.
Bangkit itu keringat para pahlawan yang tak henti-hentinya tumpah,
berjuang memerdekakan tanah air Indonesia dari penjajah,
walau berkalang tanah, Cut Tjak Dien yang tak pernah gentar melawan Belanda bersenjata misalanya.
Bayangkan! seorang wanita yang demi kehormatan negrinya, rela berjuang mati-matian.
Keluar hutan bergeriliya bersama sang suami Cut Ditiro, suami kedua.
Setelah suami pertama gugur di tangan kotor Belanda, Teuku Ibrahim Lamnga.

Bangkit itu butuh perjuangan.
Bangkit itu Hasan al-Bana yang terus berupaya mewujudkan tataran Islam di negerinya, Mesir. Bukan kapitalis yang di usung Barat.
Tidak mudah memang untuk melakukan itu, tapi itulah!
Demi kebangkitan, beliau rela. Harta nyawa jadi taruhan.
Beliau syahid ditembak rezim yang merasa tergerogoti eksitensinya, raja Faruk.


Bangkit itu tidak seperti durian mateng yang runtuh berjatuhan dari dahan.
Bangkit itu bukan jengkol tua yang menggelantung di pohon.
Meski tua tak pernah ia mau menyentuh tanah.
Tapi, ia harus diambil, dipanjat.
Barulah ia akan berguguran.

Bangkit itu butuh gerak dan langkah yang besar untuk menggapainya.
Hawa kemerdekaan yang dihirup saat ini, mahal harganya.
Beribu nyawa telah hilang untuknya.
Ini bukti bahwa kebangkitan itu tidak mudah.
Untuk itu sudah selayaknya bagi kita, generasi muda menghargai jarih payah mereka –para Pahlawan-.

Bangkit itu bocah dua puluh satu tahun -Muhamad al-Fatih- yang berhasil menghancurkan kekuatan imperium Romawi.
Kekuatan yang tak terkalahkan pada masanya.
Berbagai kegagalan telah ditemukan untuk membebaskan.
Tapi itulah, seorang Muhammad al-Fatih mampu menerobos pintu regol (gerbang), menginjakkan kaki di tanah kering akan Iman ini, dan shalat didalamnya.

Bangkit itu tidak seperti roda mobil yang menggelinding di aspal jalanan.
Yang bisa melaju semauanya.
itu melewati duri-duri berserak, yang mesti diinjak, jika tidak ingin kepahitan ditemukan.
Jika tidak rela kaki berlumuran darah, tunggulah! Nantilah!
sampai duri itu busuk, lapuk detelan tanah.

Jangan harap kenyataan itu akan sama dengan mimpi yang mengelayut-layut dalam memori. Karena semuanya sudah hancur berserakan.
Yang akan ditemui hanya puing-puing penyesalan yang tak ada harga lagi,
basi, busuk, layu, mati.
Mimpi itu sudah pergi.

Bangkit itu butuh keberanian dan nyali.
Bangkit itu adalah Soekarno yang dengan lantang menolak imperialisme barat dengan pernyataan tegasnya, “Go to hell with your aid!” Ia tak pernah gentar.
dia memang punya nyali, karena memang dia pemberani.

Bangkit itu terkadang juga kekejaman.
Tengoklahlah pembantaian kejam yang dilakukan Salibiyyin terhadap 40.000 umat Islam Palestina.
Mereka tega menghabisi mereka –umat Islam Palestina- yang sama sekali tak berdosa.
Tak pandang bulu. Tua-kecil. Laki-laki-wanita.
Semua dienyahkan keperut bumi.

Menyedihkan memang!
Tapi itulah, demi kebangkitan, mereka rela menghilangkan sifat ke-manusiawiannya.

Ya!
Mereka ingin menempati kembali tanah suci yang telah dibebaskan khalifah Umar bin Khatab.
Bangkit? Bisa. Tidak mudah! Butuh perjuangan! Butuh pengorbanan!
Jika ingin bangkit, harus rela semua itu, walau harus menginjak duri yang berserak.

Bangkitlah!

By: Udo Iwan

Tidak ada komentar: